Keterlambatan Penerbitan SPB Online Melalui Inaportnet Picu Antrean Kapal di Perairan KSOP Merak Bungkam

oleh -32 Dilihat
oleh

Liputanabn.com | Merak — Keluhan pengguna jasa penyeberangan di Pelabuhan Merak kembali mencuat. Sejumlah kapal roll-on roll-off (Roro), baik di dermaga reguler maupun eksekutif, terpantau harus menunggu berjam-jam di perairan sebelum dapat sandar. Kapal-kapal itu seakan terapung tanpa kepastian, meski proses bongkar muat kendaraan telah selesai. Sabtu (13/12/25)

Keterlambatan tersebut diduga berkaitan dengan penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang kini sepenuhnya dilakukan secara daring. Sistem yang diklaim sebagai bagian dari digitalisasi pelayanan justru dinilai memperlambat operasional kapal.

“Sekarang setiap SPB online bisa makan waktu setengah jam sampai satu jam setelah muat kendaraan. Kadang malah lebih dari satu jam karena kendala sistem,” ujar seorang sumber di lingkungan pelabuhan yang enggan disebutkan namanya.

Lambannya penerbitan SPB memicu efek berantai. Kapal yang telah siap berlayar terpaksa menunggu di alur pelayaran, sementara kapal lain yang hendak sandar ikut tertahan. Akibatnya, kepadatan di perairan Pelabuhan Merak tak terhindarkan dan berpotensi mengganggu keselamatan pelayaran serta ketepatan jadwal penyeberangan.

SPB Online Mandek, Potensi Pelanggaran Regulasi Menguat

Keterlambatan penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) akibat penerapan sistem daring di Pelabuhan Merak bukan sekadar persoalan teknis, tetapi berpotensi melanggar ketentuan hukum dan konstitusi.

Data lapangan menunjukkan kapal-kapal yang telah selesai bongkar muat harus menunggu hingga lebih dari satu jam di perairan sebelum memperoleh SPB. Kondisi ini menyebabkan kepadatan alur pelayaran Selat Sunda dan meningkatkan risiko keselamatan navigasi.

Padahal, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menegaskan bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran merupakan tanggung jawab pemerintah, dengan syahbandar memiliki kewenangan tertinggi dalam pengawasan serta penerbitan SPB. Regulasi tersebut tidak membuka ruang bagi penundaan administratif tanpa dasar keselamatan yang jelas.

Lebih lanjut, Peraturan Menteri Perhubungan PM 82 Tahun 2014 secara eksplisit mewajibkan syahbandar tetap menjamin pelayanan SPB meskipun terjadi gangguan sistem, termasuk melalui mekanisme alternatif. Fakta antrean kapal di laut menunjukkan kewajiban tersebut tidak berjalan optimal.

Dari sisi konstitusi, kondisi ini bersinggungan langsung dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas rasa aman serta Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan tanggung jawab negara dalam penyediaan pelayanan publik yang layak.

Sementara itu, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mewajibkan layanan negara diselenggarakan secara cepat, pasti, dan tepat waktu. Penundaan SPB berjam-jam dinilai bertentangan dengan prinsip tersebut.

Hingga kini, KSOP Merak belum memberikan penjelasan resmi, memperkuat dugaan lemahnya pengawasan dan tata kelola pelayanan pelabuhan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah digitalisasi SPB telah dijalankan tanpa kesiapan sistem cadangan dan manajemen risiko yang memadai

Jika dibiarkan, keterlambatan SPB bukan hanya mengganggu operasional penyeberangan, tetapi berpotensi menjadi pelanggaran sistemik terhadap keselamatan pelayaran dan kewajiban negara.

Hingga berita ini diturunkan, pejabat Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Merak yang dihubungi melalui pesan singkat WhatsApp belum memberikan penjelasan resmi.

Pengamat kepelabuhanan Selat Sunda, Andri Gunawan, SH, C.PLA, menilai persoalan penundaan SPB bukan sekadar masalah teknis, melainkan mencerminkan krisis tata kelola pelabuhan. Menurut dia, kasus ini berkorelasi dengan berbagai persoalan lain di Pelabuhan Merak yang sebelumnya muncul, termasuk pengalihan fungsi dermaga dan kebijakan express lane tanpa kejelasan regulasi.

“Ini menunjukkan kegagalan fungsi pengawasan KSOP. Penundaan SPB hingga lebih dari satu jam menandakan otoritas kehilangan kendali atas operasional pelabuhan,” kata Andri.

Ia menegaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, KSOP memiliki kewajiban memastikan kelancaran dan keselamatan pelayaran. Implementasi sistem SPB online tanpa uji kelayakan dan sistem cadangan, menurut Andri, justru bertentangan dengan prinsip manajemen risiko pelayanan publik.

Lebih jauh, ia mengingatkan risiko keselamatan akibat kapal-kapal yang menunggu terlalu lama di alur pelayaran Selat Sunda, jalur strategis yang padat lalu lintas. “Kongesti di laut meningkatkan risiko tubrukan dan insiden keselamatan,” ujarnya.

Andri mendesak Kementerian Perhubungan melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja KSOP Kelas I Banten, termasuk evaluasi sistem SPB online. Ia juga meminta transparansi publik terkait waktu layanan penerbitan SPB serta moratorium kebijakan baru hingga pelayanan dasar kembali normal.

“KSOP harus segera memberi penjelasan. Sikap diam bukan lagi soal administrasi, tapi sudah menyangkut keselamatan publik,” kata And

Laporan : Yeni Eka Wati

Editor      : Bolok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.